DEPERMA

DEPERMA

Selasa, 10 April 2012

Rekomendasi Terkait Kebijakan Subsidi BBM

Pendahuluan


Melambungnya harga minyak dunia pada medio 2005 sampai 2012 merupakan sebuah keniscayaan akibat semakin menipisnya stok minyak di seluruh dunia namun permintaan dunia semakin tinggi demi memacu perekonomian dunia. Selain itu, kenaikan harga minyak dunia juga diakibatkan oleh gejolak politik di Timur Tengah dan perekonomian dunia yang sempat lesu akibat krisis dunia tahun 2008. Harga minyak dunia yang terus meroket dari 53,4 US$/barrel pada tahun 2005 menjadi hampir 120 US$ pada awal Februasi 2012 membuat perekonomian dunia menjadi terhambat. Data dari OECD secara gamblang menjelaskan bahwa kenaikan harga minyak dunia sebesar 10 US$/barel akan menyebabkan pertumbuhan ekonomi dari negara-negara OECD turun sebesar 0,5%, yang turut diikuti dengan kenakan pengangguran sebesar 0,25%, kenaikan inflasi sebesar 0,2-0,3% dan juga efek turunan lainnya.


Di dalam negeri juga terdapat kenaikan konsumsi BBM dan turunnya produksi minyak seperti yang terjadi di dunia.Turunnya produksi minyak di Indonesia yang tidak dapat memenuhi kebutuhan konsumsi minyak dalam negeri membuat Indonesia harus meng-import BBM dari luar negeri. Dengan demikian Indonesia resmi menjadi negara net oil importer sejak tahun 2004. Kebijakan impor BBM yang dilakukan pemerintah tentu saja membuat Indonesia harus mengikuti harga minyak dunia yang dinamis. Apalagi, pemerintah Indonesia memberi subsidi BBM yang besar kepada rakyatnya, sehingga pengeluaran APBN akan membengkak ketika harga minyak dunia naik.

Subsidi BBM dan Anggaran Pendapatan Belanja Negara



 Subsidi BBM yang diberikan kepada rakyat Indonesia sejatinya merupakan tools yang dilakukan pemerintah untuk melakukan distribusi, yaitu menyalurkan bantuan untuk  menolong orang miskin agar mampu untuk membeli BBM. Namun data dari SUSENAS menunjukan bahwa 40% masyarakat menengah ke bawah hanya mendapatkan manfaat sebesar 13,92% dari subsidi BBM. Yang paling menikmati manfaat dari subsidi BBM adalah 20% orang paling kaya di Indonesia dengan bagian sebesar 48,44%. Dapat disimpulkan bahwa subsidi BBM yang diberikan pemerintah jelas-jelas tidak tepat sasaran dan tidak memihak orang miskin.


Selain tidak tepat sasaran, subsidi BBM yang diberikan pemerintah juga sering membengkak akibat fluktuasi harga minyak dunia dan konsumsi dalam negeri yang terus meningkat. Fungsi demand BBM terhadap   harga adalah berbanding lurus (upward sloping), yaitu ketika terjadi kenaikan harga maka barang yang diminta tetap naik. Fungsi ini merupakan invers dari fungsi demand pada barang-barang lain pada umunya karena BBM adalah barang kebutuhan pokok (basic needs) sehingga masyarakat harus membeli BBM berapapun harganya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun kenaikan konsumsi yang sangat tinggi juga menunjukan kesejahteraan masyarakat yang naik, apalagi jika diikuti dengan kenaikan jumlah pengguna mobil dan sepeda motor. Dengan demikian terjawab sudah mengapa sebagian besar subsidi BBM dinikmati kalangan menengah ke atas.
Tabel Perkembangan Subsidi 2005-2008 dalam triliun rupiah


Di dalam APBN, subsidi BBM termasuk ke dalam kategori subsidi energi, bersama dengan subsidi listrik. Secara mengejutkan subsidi BBM dari tahun 2005-2008 secara rata-rata menguras dana sebesar 2,85% dari GDP Indonesia. Puncaknya di tahun 2008, subsidi BBM mencapai 4%dari GDP dan 18,28% dari realisasi APBN pada tahun 2008. Di lain pihak, realisasi belanja modal pemerintah pada tahun 2008 hanya sebesar 72,77 Triliun Rupiah atau sebesar 0,7% dari total belanja pemerintah. Dapat dibayangkan betapa borosnya negara kita dalam memakai energi sehingga kita mengorbankan untuk tidak membangun infrastruktur yang tentunya memiliki multiplier effect yang besar terhadap pertumbuhan ekonomi. Selain itu, subsidi BBM yang berjumlah 18% dari APBN hampir memiliki jumlah yang setara dengan anggaran pendidikan yang ditetapkan pemerintah sebesar 20% dari total belanja negara.
Besarnya subsidi BBM juga berdampak pada semakin mengecilnya fiscal space (ruang gerak fiskal) yang dimiliki pemerintah. Pemerintah tidak lagi leluasa dalam memberikan anggaran kepada sektor atau bidang yang memang sedang membutuhkan anggaran yang banyak, seperti Kementrian PU, dll. Besarnya subsidi BBM juga berakibat kepada rentannya anggaran jika terjadi gejolak terhadap harga minyak dunia. Menurut Menteri Keuangan, setiap kenaikan 1 US$ harga minyak dunia, maka secara otomatis akan meningkatkan subsidi BBM sebesar 900 Miliar Rupiah. Jika diambil contoh pada tahun 2012, ketika pemerintah menetapkan asumsi makroekonomi bahwa harga minyak dunia adalah 90 US$/barrel dan ternyata sekarang harga minyak dunia berada di kisaran 120 US$/barrel, maka defisit pemerintah di akhir tahun minimal akan sebesar 27 Triliun Rupiah. Defisit belanja negara akibat subsidi yang melebihi kuota harus dibayar pemerintah dari utang, baik itu dalam maupun luar negeri. Utang yang diambil oleh pemerintah tentunya akan memiliki bunga beserta pokok utang yang harus dibayar di masa yang akan datang. Dengan demikian pemerintah telah melaksanakan kebijakan utang untuk membiayai hal-hal atau bagian yang tidak produktif. Hal ini sangat bertentangan dengan teori makroekonomi yang berlaku pada umum bahwa utang diperbolehkan (bahkan sangat dianjurkan) untuk membiayai sektor-sektor yang produktif dan memiliki multiplier effect yang tinggi untuk memacu pertumbuhan ekonomi. Mengingat anggaran negara kita yang sangat rentan terhadap subsisdi BBM yang tidak terkontrol tersebut, dan untuk mencegah collapse-nya negra ini, maka pembatasan subsidi BBM mutlak dilakukan.

Dua Opsi Pemerintah Terhadap Subsdi BBM: Dampak Sosial dan Ekonomi


Pemerintah dapat membaca rentannya anggaran kita terhadap subsidi BBM dan dalam jangka panjang adalah ancaman collapse-nya negara karena anggaran negara sudah habis. Pemerintah kemudian pada awal Januari menelurkan dua opsi baru terhadap kebijakan subsidi BBM (jenis premium dan solar) setelah pada sepanjang tahun 2011 terus mendengungkan opsi pembatasan BBM. Dua opsi tersebut adalah kenaikan harga premium sebesar Rp 1.500/ liter sehingga harga BBM menjadi Rp 6.000/liter. Yang kedua adalah pemerintah akan menanggung besaran subsidi secara flat, sebesar Rp 2.000/ liter, sehingga jika harga BBM adalah Rp 8.000/liter, maka harga BBM adalah Rp 6.000/liter, namun jika terjadi kenaikan harga premium hingga Rp 8.500/liter, maka harga jualnya menjadi Rp 6.500/liter. Tujuan utama dari dua opsi tersebut adalah penghematan anggaran dari subsidi BBM sehingga anggaran tersebut dapat digunakan untuk sektor-sektor lain, seperti pembangunan infrastruktur, dan untuk sektor pendidikan dan kesehatan.
Namun, dua opsi tersebut tentu saja memiliki dampak sosial dan ekonomi yang tidak kecil. Menurut hasil kajian UI yang dikutip dari media Suara Merdeka membeberkan bahwa jika opsi pertama yang diambil maka akan memicu kenaikan inflasi sebesar 2,15%, penurunan daya beli 2,10%, kenaikan tingkat kemiskinan sebesar 0,98%, dan penghematan subsidi BBM nasional sebesar Rp 31,58 triliun. Namun jika opsi kedua yang dipilih, maka inflasi akan naik 2,43%, daya beli akan turun 2,37%, tingkat kemiskinan bertambah sebesar 1,15%, dan subsidi BBM nasional yang bisa dihemat sebesar Rp 25,77 triliun. Penghematan anggaran tersebut selanjutnya digunakan sekitar 40% untuk menjaga daya beli masyarakat berupa BLT, dan sisanya untuk memacu perekonomian Indonesia dengan melakukan belanja modal pada sektor infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan. BLT dianggap perlu karena untuk meredam shock yang menimpa 20% masyrakat ekonomi terbawah saat kenaikan harga BBM melonjak naik. Masyarakat miskin tersebut diharapkan dapat mempertahankan daya belinya sembari menunggu dampak dari pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan yang dilakukan oleh pemerintah.
BLT sejatinya adalah transfer payment yang dilakukan pemerintah kepada warganya yang sudah sangat umum terjadi di negara-negara lain, bahkan di negara maju seperti Amerika Serikat. Di Amerika Serikat, jika warganya ada yang di PHK dari pekerjaannya, pemerintah AS akan memberikan sejumlah uang (ke rekening tabungannya) untuk menjaga daya beli warga tersebut terjaga selama jangka waktu tertentu (contoh enam bulan). Diharapkan dalam jangka waktu tersebut, warga yang sebelumnya di-PHK telah mendapatkan pekerjaannya kembali. Di Indonesia, transfer payment berupa BLT ternyata sangat terkendala di masalah teknis. Masalah yang pertama adalah tidak semua keluarga di Indonesia memiliki nomer rekening sehingga pemerintah harus membagikan dana BLT tersebut secara langsung. Yang kedua adalah masih lemahnya penegakan reformasi birokrasi di Indonesia sehingga banyak terjadi pemotongan dana BLT sebelum menyentuh rakyat yang membutuhkan. Secara teori, dan jika implementasinya benar dan tepat, transfer payment adalah solusi jangka pendek terbaik untuk meredam shock akibat kenaikan harga BBM.

Rekomendasi Terkait Kebijakan Subsidi BBM


Dengan mengetahui dan memahami fakta dan data terkait subsidi BBM dan kondisi Anggaran Pendapatan Belanja Negara, maka kami memberi rekomendasi agar pemerintah melakukan pembatasan subsidi BBM dengan menaikkan harga BBM (premium dan solar) sebesar Rp 1.500 menjadi Rp 6.000. Dengan demikian, diharapkan anggaran negara yang dihemat sekitar Rp 30 Triliun dan digunakan sebagian untuk meredam shock pada jangka pendek, dan sisanya untuk melakukan pembangunan untuk jangka menengah dan panjang. Dalam jangka pendek, cara untuk meredam shock yang terbaik adalah dengan melakukan transfer payment (BLT) dengan catatan pemberian teknisnya dirancang sedemikian rupa agar dapat meminimalisasi penyalahgunaan dana, dan terwujudnya pembagian BLT yang aman dan tertib. Pembagian BLT juga dilaksanakan maksimal satu tahun, karena jika BLT terlalu lama diberikan, masyarakat akan dimanja oleh uang pembagian yang dapat diperoleh tanpa kerja keras. Untuk jangka panjang, pembangunan harus difokuskan kepada tiga sektor yang memiliki multiplier effect yang besar terhadap perekonomian, yaitu infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan.
Kenaikan BBM secara bertahap seharusnya dihindari untuk mencegah terjadi double inflation dan biaya-biaya inflasi seperti menu cost. Sedangkan harga BBM harus diatur flat oleh pemerintah karena harga BBM adalah anchor price (harga dasar dari seluruh harga-harga), jika terjadi kenaikan harga, inflasi juga terancam naik kembali. Pada dasarnya, sangat sedikit kebijakan atau pilihan di dunia ini yang tidak berhadapan dengan trade-off, atau keputusan win-win solution. Dengan demikian, diharapkan dengan menempuh kebijakan pembatasan subsidi BBM dengan catatan adanya kompensasi untuk meredam shock dalam jangka pendek untuk masyarakat yang membutuhkan, dan terwujudnya pembangunan yang ada di Indonesia, Indonesia dapat menjelma menjadi negara yang lebih baik dan sejahtera di masa yang akan datang.


Referensi
Kajian Kebijakan Subsidi di Indonesia, Badan Eksekutif Mahasiswa FEUI Tahun 2011
Kajian Pembatasan Subsidi BBM, Pusgerak BEM UI Tahun 2011
Data
APBN dan Nota Keuangan Republik Indonesia
Badan Pusat Statistik
Kementrian ESDM Republik Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar